Senin, 21 Februari 2011

KOLABORASI DALAM KEPERAWATAN




A.        Pendahuluan
Kolaborasi merupakan istilah umum yang sering digunakan untuk menggambarkan suatu hubungan kerja sama yang dilakukan pihak tertentu. Sekian banyak pengertian dikemukakan dengan sudut pandang beragam namun didasari prinsip yang sama yaitu mengenai kebersamaan, kerja sama, berbagi tugas, kesetaraan, tanggung jawab dan tanggung gugat. Namun demikian kolaborasi sulit didefinisikan untuk menggambarkan  apa yang sebenarnya yang menjadi esensi dari kegiatan ini. Seperti yang dikemukakan National Joint Practice Commision (1977) yang dikutip Siegler dan Whitney (2000) bahwa tidak ada definisi yang mampu menjelaskan sekian ragam variasi dan kompleknya kolaborasi dalam kontek perawatan kesehatan.
Berdasarkan kamus Heritage Amerika (2000), kolaborasi adalah bekerja bersama khususnya dalam usaha penggambungkan pemikiran. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukanan oleh Gray (1989) menggambarkan bahwa kolaborasi sebagai suatu proses berfikir dimana pihak yang terklibat memandang aspek-aspek perbedaan dari suatu masalah serta menemukan solusi dari perbedaan tersebut dan keterbatasan padangan mereka terhadap apa yang dapat dilakukan.
American Medical Assosiation (AMA), 1994,  setelah melalui diskusi dan negosiasi yang panjang dalam kesepakatan hubungan professional dokter dan perawat,  mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut ; Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup praktek mereka dengan berbagi nilai-nilai dan saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat. (www.nursingword.org/readroom,) 



Koaborasi (ANA, 1992), hubungan kerja diantara tenaga kesehatan dalam memeberikan pelayanan kepada pasien/klien adalah dalam melakukan diskusi tentang diagnosa, melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling berkonsultasi atau komunikasi serta masing-masing bertanggung jawab pada pekerjaannya.
Apapun bentuk dan tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator. Efektifitas hubungan kolaborasi profesional membutuhkan mutual respek baik setuju atau ketidaksetujuan yang dicapai dalam interaksi tersebut. Partnership kolaborasi merupakan usaha yang baik sebab mereka menghasilkan outcome yang lebih baik bagi  pasien dalam mecapai upaya penyembuhan dan memperbaiki kualitas hidup.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert,  2005). Bekerja bersama dalam kesetaraan adalah esensi dasar dari kolaborasi yang kita gunakan untuk menggambarkan hubungan perawat dan dokter.  Tentunya ada konsekweksi di balik issue kesetaraan yang dimaksud. Kesetaraan kemungkinan dapat  terwujud jika individu yang terlibat  merasa dihargai serta  terlibat secara fisik dan intelektual saat memberikan bantuan kepada pasien.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.

B.         Kolaborasi di Rumah Sakit
Kolaborasi merupakan hubungan kerja sama antara anggota tim dalam memberikan asuhan kesehatan. Pada kolaborasi terdapat sikap saling menghargai antar tenaga kesehatan dan saling memberikan informasi tentang kondisi klien demi mencapai tujuan (Hoffart & Wood, 1996; Wlls, Jonson & Sayler, 1998).
Hubungan kolaborasi di Rumah Sakit :
 





Tim Kerja di Rumah Sakit :

n  Tim satu disiplin ilmu:
  
    -  Tim Perawat
    -  Tim dokter
    -  Tim administrasi
    -  dll

n    Tim multi disiplin :

    -  Tim  operasi
    -  Tim nosokomial infeksi
    -  dll



        Anggota Tim interdisiplin
Tim pelayanan kesehatan interdisiplin merupakan sekolompok profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan berbeda keahlian. Tim akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim.
Pasien secara integral adalah anggota tim yang penting. Partisipasi pasien dalam pengambilan keputusan akan menambah kemungkinan suatu rencana menjadi efektif. Tercapainya tujuan kesehatan pasien yang optimal hanya dapat dicapai jika pasien sebagai pusat anggota tim.
Perawat sebagai anggota membawa persfektif yang unik dalam interdisiplin tim. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Perawat berperan sebagai penghubung penting antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan.
Dokter memiliki peran utama dalam mendiagnosis, mengobati dan mencegah penyakit. Pada situasi ini dokter menggunakan modalitas pengobatan seperti pemberian obat dan pembedahan. Mereka sering berkonsultasi dengan anggota tim lainnya sebagaimana membuat referal pemberian pengobatan.
Kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, otonomi dan koordinasi seperti skema di bawah ini.





 




Elemen kunci efektifitas kolaborasi

Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan. Asertifitas penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai. Tanggung jawab, mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis. Otonomi mencakup kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan.
Kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien. Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam team dari pada menyalahkan seseorang atau atau menghindari tangung jawab.  Hensen  menyarankan  konsep dengan arti yang sama : mutualitas dimana dia mengartikan sebagai suatu hubungan yang memfasilitasi suatu proses dinamis  antara orang-orang ditandai oleh keinginan maju untuk mencapai tujuan dan kepuasan setiap anggota. Kepercayaan adalah konsep umum untuk semua elemen kolaborasi. Tanpa rasa pecaya,  kerjasama tidak akan ada, asertif menjadi ancaman, menghindar dari tanggung jawab, terganggunya komunikasi . Otonomi akan ditekan dan koordinasi tidak akan terjadi.
Dasar-dasar kompetensi koaborasi :
Ø  Komunikasi
Ø  Respek dan kepercayaan
Ø  Memberikan dan menerima feed back
Ø  Pengambilan keputusan
Ø  Manajemen konflik
Komunikasi sangat dibutuhkan daam berkolaborasi karena kolaborasi membutuhkan pemecahan masalah yang lebih kompleks, dibutuhkan komunikasi efektif yang dapat dimengerti oleh semua anggota tim. Pada dasar kompetensi yang lain, kualitas respek dapat dilihat lebih kearah honor dan harga diri, sedangkan kepercayaan dapat dilihat pada mutu proses dan hasil. Respek dan kepercayaan dapat disampaikan secara verbal maupu non verbal serta dapat dilihat dan dirasakan dalam penerapannya sehari-hari.Feed back dipengaruhi oleh persepsi seseorang, pola hubungan, harga diri, kepercayaan diri, kepercayaan, emosi, lingkungan serta waktu, feed back juga dapat bersifat negatif maupun positif. Dalam melakukan kolaborasi juga akan melakukan manajemen konflik, konflik peran umumnya akan muncul dalam proses. Untuk menurunkan konflik maka masing-masing anggota harus memahami peran dan fungsinya, melakukan klarifikasi persepsi dan harapan, mengidentifikasi kompetensi, mengidentifikasi tumpang tindih peran serta melakukan negosiasi peran dan tanggung jawabnya.
Elemen kunci kolaborasi dalam kerja sama team multidisipliner dapat digunakan untuk  mencapai tujuan kolaborasi team :
-           Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional.
-           Produktivitas  maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya
-           Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas
-           Meningkatnya kohesifitas antar profesional 
-           Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional,
-           Menumbuhkan komunikasi, kolegalitas,  dan menghargai dan memahami orang lain.
Terwujudnya suatu kolaborasi tergantung pada beberapa kreiteria yaitu (1) adanya rasa saling percaya dan menghormati, (2) saling memahami dan menerima keilmuan masing-masing, (3) memiliki citra diri positif, (4) memiliki kematangan profesional yang setara (yang timbul dari pendidikan dan pengalaman), (5) mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan, dan (6) keinginan untuk bernegosiasi (Hanson & Spross, 1996).
Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling tergantung (interdependensi) untuk kerja sama dan bekerja sama. Bekerja bersama dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan auat target yang telah ditentukan dapat dicapai. Selain itu, menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk berkomunikasi anatar profesi secara formal tentang asuhan klien.
Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika :
ü  Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama
ü  Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya
ü  Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik
ü  Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang tergabung dalam tim.
Model Praktek Kolaborasi :
ü  Interaksi Perawat-Dokter, dalam persetujuan pratek
ü  Kolaborasi Perawat – Dokter, dalam memberikan pelayanan
ü  Tim Interdisiplin atau komite
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.
Kolaborasi dan model interdisiplin merupakan fondasi dalam memberikan asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan hemat biaya. Melalui pemanfaatan keahlian berbagai anggota tim untuk berkolaborasi, hasil akhir asuhan kesehatan dapat dioptimalkan Hickey, Ouimette dan Venegoni, 1996)
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ” apa diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan – pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney, 2000)
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini? Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert,  2005).
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
      Berkaitan dengan issue kolaborasi dan soal menjalin kerja sama kemitraan dengan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vokasional menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter sangat kompleks. Tanggung jawab hukum juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian. Yaitu, malpraktik medis, dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari pemerintah maupun para pihak terkait mengenai tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi perawat juga harus berbenah dan memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan. (www. kompas.com.)
Pertemuan profesional dokter-perawat dalam situasi nyata lebih banyak terjadi dalam lingkungan rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit dapat menjadi fasilitator demi terjalinnyanya hubungan kolaborasi seperti dengan menerapkan sistem atau kebijakan yang mengatur interaksi diantara berbagai profesi kesehatan. Pencatatan terpadu data kesehatan pasien, ronde bersama, dan pengembangan tingkat pendidikan perawat dapat juga dijadikan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.
Ronde bersama yang dimaksud adalah kegiatan visite bersama antara dokter-perawat dan mahasiswa perawat maupun mahasiswa kedokteran, dengan tujuan mengevaluasi pelayanan kesehatan yang telah dilakukan kepada pasien. Dokter dan perawat saling bertukar informasi untuk mengatasi permasalahan pasien secara efektif. Kegiatan ini juga merupakan sebagai satu upaya untuk menanamkan sejak dini pentingnya kolaborasi bagi kemajuan proses penyembuhan pasien. Kegiatan ronde bersama dapat ditindaklanjuti dengan pertemuan berkala  untuk membahas kasus-kasus tertentu sehingga terjadi trasnfer pengetahuan diantara  anggota tim.
Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu ditunjang oleh sarana komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara komfrenhensif sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota team dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu perlu dikembangkan catatan status kesehatan pasien yang memungkinkan komunikasi dokter dan perawat terjadi secara efektif.
Pendidikan perawat perlu terus ditingkatkan untuk meminimalkan kesenjangan profesional dengan dokter melalui pendidikan berkelanjutan. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan dapat dilakukan melalui pendidikan formal sampai kejenjang spesialis atau minimal melalui pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian perawat.
Perawat sebagai Kolaborator
Sebagai seorang kolaborator, perawat melakukan kolaborasi dengan klien, pper group serta tenaga kesehatan lain. Kolaborasi yang dilakukan dalam praktek di lapangan sangat penting untuk memperbaiki. Agar perawat dapat berperan secara optimal dalam hubungan kolaborasi tersebut, perawat perlu menyadari akuntabilitasnya dalam pemberian asuhan keperawatan dan meningkatkan otonominya dalam praktik keperawatan. Faktor pendidikan merupakan unsur utama yang mempengaruhi kemampuan seorang profesional untuk mengerti hakikat kolaborasi yang berkaitan dengan perannya masing-masing, kontribusi spesifik setisp profesi, dan pentingnya kerja sama. Setiap anggota tim harus menyadari sistem pemberian asuhan kesehatan yang berpusat pada kebutuhan kesehatan klien, bukan pada kelompok pemberi asuhan kesehatan. Kesadaran ini sangat dipengaruhi oleh pemahaman setiap anggota terhadap nilai-nilai profesional.
Menurut Baggs dan Schmitt, 1988, ada atribut kritis dalam melakukan kolaborasi, yaitu melakukan sharing perencanaan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, membuat tujuan dan tanggung jawab, melakukan kerja sama dan koordinasi dengan komunikasi terbuka.
C.        Trend dan Issue yang Terjadi
Hubungan perawat-dokter adalah satu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif yang berbeda dalam memandang pasien, dalam  prakteknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan teknik dalam melakukan proses kolaborasi. Kendala psikologis keilmuan dan individual, factor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborasi yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.
Berbagai penelitian menunjukan bahwa banyak aspek positif yang dapat timbul jika hubungan kolaborasi dokter-perawat berlangsung baik. American Nurses Credentialing Center (ANCC) melakukan risetnya pada 14 rumah sakit melaporkan bahwa hubungan dokter-perawat bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga berdampak langsung pada hasil yang dialami pasien (Kramer dan Schamalenberg, 2003). Terdapat hubungan korelasi positif antara kualitas hubungan dokter-perawat dengan kualitas hasil yang didapatkan pasien.
Hambatan kolaborasi dokter dan perawat sering dijumpai pada tingkat profesional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian profesional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan biasanya fisik lebih besar dibanding perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih medukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari konflik perawat dan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya.
Dari hasil observasi penulis di rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter. Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien hanya berdasarkan intruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik,  sementara dokumentasi asuhan keperawatan yang meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara penulis dengan beberapa perawat rumah sakit pemerintah, mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter  yang selalu menganggap bahwa perawat merupakan tenaga vokasional, perawat  sebagai asistennya, serta kebijakan rumah sakit yang kurang mendukung.
Isu-isu tersebut  jika tidak ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi.
Pemahaman kolaborasi
Pemahaman mengenai prinsip kolaborasi dapat menjadi kurang berdasar jika hanya dipandang dari hasilnya saja. Pembahasan bagaimana proses kolaborasi itu terjadi justru menjadi point penting yang harus disikapi. Bagaimana masing-masing profesi memandang arti kolaborasi harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga dapat diperoleh persepsi yang sama.
Seorang dokter saat menghadapi pasien pada umumnya berfikir, ” apa diagnosa pasien ini dan perawatan apa yang dibutuhkannya” pola pemikiran seperti ini sudah terbentuk sejak awal proses pendidikannya. Sulit dijelaskan secara tepat bagaimana pembentukan pola berfikir seperti itu apalagi kurikulum kedokteran terus berkembang. Mereka juga diperkenalkan dengan lingkungan klinis dibina dalam masalah etika, pencatatan riwayat medis, pemeriksaan fisik serta hubungan dokter dan pasien. mahasiswa kedokteran pra-klinis sering terlibat langsung dalam aspek psikososial perawatan pasien melalui kegiatan tertentu seperti gabungan bimbingan – pasien. Selama periode tersebut hampir tidak ada kontak formal dengan para perawat, pekerja sosial atau profesional kesehatan lain. Sebagai praktisi memang mereka berbagi lingkungan kerja dengan para perawat tetapi mereka tidak dididik untuk menanggapinya sebagai rekanan/sejawat/kolega. (Siegler dan Whitney, 2000)
Dilain pihak seorang perawat akan berfikir; apa masalah pasien ini? Bagaimana pasien menanganinya?, bantuan apa yang dibutuhkannya? Dan apa yang dapat diberikan kepada pasien?. Perawat dididik untuk mampu menilai status kesehatan pasien, merencanakan intervensi, melaksanakan rencana, mengevaluasi hasil dan menilai kembali sesuai kebutuhan. Para pendidik menyebutnya sebagai proses keperawatan. Inilah yang dijadikan dasar argumentasi bahwa profesi keperawatan didasari oleh disiplin ilmu yang membantu individu sakit atau sehat dalam menjalankan kegiatan yang mendukung kesehatan atau pemulihan sehingga pasien bisa mandiri.
Sejak awal perawat dididik mengenal perannya dan berinteraksi dengan pasien. Praktek keperawatan menggabungkan teori dan penelitian perawatan dalam praktek rumah sakat dan praktek pelayanan kesehatan masyarakat. Para pelajar bekerja diunit perawatan pasien bersama staf perawatan untuk belajar merawat, menjalankan prosedur dan menginternalisasi peran.
Kolaborasi merupakan proses komplek yang membutuhkan sharing pengetahuan yang direncanakan yang disengaja, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk merawat pasien. Kadangkala itu terjadi dalam hubungan yang lama antara tenaga profesional kesehatan. (Lindeke dan Sieckert,  2005).
Kolaborasi adalah suatu proses dimana praktisi keperawatan atau perawat klinik bekerja dengan dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam lingkup praktek profesional keperawatan, dengan pengawasan dan supervisi sebagai pemberi petunjuk pengembangan kerjasama atau mekanisme yang ditentukan oleh peraturan suatu negara dimana pelayanan diberikan. Perawat dan dokter merencanakan dan mempraktekan bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batas-batas lingkup praktek dengan berbagi nilai-nilai dan pengetahuan serta respek terhadap orang lain yang berkontribusi terhadap perawatan individu, keluarga dan masyarakat.
D.        Penutup
Untuk mencapai pelayanan yang efektif maka perawat, dokter dan tim kesehatan harus berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Tidak ada kelompok yang dapat menyatakan lebih berkuasa diatas yang lainnya. Masing-masing profesi memiliki kompetensi profesional yang berbeda sehingga ketika digabungkan dapat menjadi kekuatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Banyaknya faktor yang berpengaruh seperti kerjasama, sikap saling menerima, berbagi tanggung jawab, komunikasi efektif sangat menentukan bagaimana suatu tim berfungsi. Kolaborasi yang efektif antara anggota tim kesehatan memfasilitasi terselenggaranya pelayanan pasien yang berkualitas.

Dari berbagai sumber














DAFTAR REFERENSI
Berger, J. Karen and Williams. 1999. Fundamental Of Nursing; Collaborating for Optimal Health, Second Editions. Apleton and Lange. Prenticehall. USA
Dochterman , Joanne McCloskey PhD, RN, FAAN. 2001 Current Issue in Nursing. 6th Editian . Mosby Inc.USA
Sitorus, Ratna, DR, S.Kp, M.App.Sc. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional di Rumah Sakit : Penataan Struktur dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat. EGC. Jakarta
Siegler, Eugenia L, MD and Whitney Fay W, PhD, RN., FAAN , alih bahasa Indraty Secillia, 2000. Kolaborasi Perawat-Dokter ; Perawatan Orang Dewasa dan Lansia, EGC. Jakarta
www. Nursingworld. 1998.: Collaborations and Independent Practice: Ongoing Issues for Nursing.
www. Kompas.com/kompas-cetak/ 2001. Diskusi Era Baru: Perawat Ingin Jadi Mitra Dokter. 
www.pikiran-rakyat.com/cetak. 2002 : Hak dan Kewajiban Rumah Sakit. www. nursingworld. Sieckert. 2005 Nursing - Physician workplace Collaboration.
www.nursingworld. Canon. 2005. New Horizons for Collaborative Partnership.
www. Nursingworld. Gardner. 2005. Ten Lessons in Collaboration.





PERDARAHAN GASTRO INTESTINAL




A.    Pendahuluan
Semua sel tubuh manusia membutuhkan protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air. Nutrien ini menghasilkan sumber energy untuk fungsi kehidupan. Setelah Nutrien ini dipecahkan menjadi komponen-komponen yang lebih kecil, nutrient ini juga menyediakan substrat untuk pembentukkan struktur, isi dan sekresi sel-sel baru. Sebagian besar nutrient berada di lingkungan luar dalam bentuk yang tidak dapat memasuki aliran darah untuk mencapai sel-sel jaringan (misalnya molekul-molekul besar dan kompleks). Fungsi dari sistem pencernaan adalah untuk :
·         Menerima nutrient  (proses penyerapan);
·         Menghancurkan nutrient ke dalam bentuk molekul-molekul yang ukuran cukup kecil untuk mencapai dan memasuki aliran darah (proses pencernaan);
·         Memungkinkan molekul-molekul tadi untuk memasuki aliran darah (proses penyerapan) sehingga dapat dikirimkan ke seluruh jaringan.
Pengoperasian tambahan termasuk gerakan dari makanan yang telah dicerna sepanjang sistem pencernaan, pengolahan kembali bahan-bahan yang digunakan dalam pencernaan (reabsorpsi air, bikarbonat, kalsium, garam empedu oleh kolon), dan sisa makanan yang tidak tercerna oleh tubuh (defekasi).

B.     Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan
Struktur umum dari sistem pencernaan diperlihatkan pada Gambar  di bawah ini :
Struktur ini tersusun atas saluran alimentary, yang berbentuk seperti tuba dengan panjang kira-kira 8 meter, yang berawal dari rongga oral dan berakhir di anus. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan, kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus.










           



    




Ket :
1.      Kelenjar Ludah     7.  Lidah                      13.Kantung Empedu   19.Desendens
2.      Parotis                   8.  Esofagus                14.Duodenum             20.Ileum
3.      Submandibularis   9.  Pankreas                 15.Saluran Empedu     21.Sekum
4.      Sublingualis           10.Lambung                16.Kolon                     22.Appendiks
5.      Rongga Mulut       11.Saluran Pankreas    17.Transversum           23.Rektum
6.      Faring                    12.Hati                                    18.Asendens               24.Anus
 








      
1.      Mulut
Merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan dan sistem pernafasan.
Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Saluran dari kelenjar liur di pipi, dibawah lidah dan di


bawah rahang mengalirkan isinya ke dalam mulut. Di dasar mulut terdapat lidah, yang berfungsi untuk merasakan dan mencampur makanan.                
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan dikunyah oleh
gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih
mudah untuk dicerna.
Di belakang dan dibawah mulut terdapat tenggorokan (faring). Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung. Pengecapan relatif sederhana terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Pada saat makan, aliran dari ludah membersihkan bakteri yang bisa menyebabkan pembusukan gigi dan lain-lainnya.
Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung.  Proses menelan dimulai secara  sadar.
Rongga mulut terbuka ke dalam faring, struktur yang memungkinkan masuknya udara dan nutrient. Faring anterior terbagi atas orifaring dan nasofaring, yang menghubungkan ke rongga oral dan nasal, secara berurutan. Ujung posterioinferior dari faring (pada setinggi tulang vertebra servikal keenam) menghubungkan ke esophagus dan laring. Penutup kartilago tipis yang diselaputi oleh jaringan lunak, epiglottis, secara reflex menutup laring selama menelan dan mengalirnya makanan serta air ke dalam esophagus.
2.      Esofagus
Esofagus adalah sebuah tuba dengan panjang 25 cm (10 inci) menuju lambung. Sepertiga dinding bagian atas tube  ini tersusun atas otot-otot skeletal seperti yang terdapat pada
dinding mulut dan faring.
Bagian dinding esophageal lainnya mengandung otot halus, seperti pada dinding  saluran alimentary yang sampai pada spingter ani eksterna, yang juga tersusun dari otot skeletal. Spingter esophageal bagian bawah (SEB) yang merupakan otot antara lambung dan esophagus, menebal dan













Tonus lebih besar dari otot esophageal lainnya. Otot ini berfungsi untuk mencegah refluks isi lambung ke dalam esophagus.
3.      Lambung
Lambung merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kacang kedelai, terdiri dari 3 bagian yaitu kardia, fundus dan antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari esophagus melalui spingter yang bisa membuka dan menutup untuk mencegah masuk-


nya kembali isi lambung ke esophagus. Lambung berfungsi sebagai tempat makanan yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim.


Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 (tiga) zat penting :
-          Lendir/ mukos
-          Asam Klorida
-          Prekursor Pepsin (enzim yang memecahkan protein)
Fungsi gaster :
1.      menyimpan dan mencerna makanan dan membawanya ke saluran pencernaan
2.      mensekresi getah lambung untuk membantu pencernaan makanan
3.      mencerna makanan dan mencampurkan dengan getah lambung
4.      mensekresi faktor intrinsik
5.      memproduksi gastrin dan ghrelin
6.      proteksi tubuh terhadap bakteri2 pathogen yg tertelan bersama makanan
Sekresi lambung diatur oleh mekanisme neuron dan hormonal yang terdiri atas 3 (tiga) fase, yaitu :
Ø  Fase Sefalik
Penglihatan, penciuman dan pikiran tentang makanan juga adanya makanan di mulut bekerja pada pusat batang otak, secara reflex meningkatkan stimulasi parasimpatis (vagal) tentang salivasi, sekresi pancreas, pelepasan empedu dan sekresi lambung oleh sel-sel chief dan parietal. Lambung juga menerima rangsangan simpatik dalam fase sefalik, dalam berespons terhadap peristiwa-peristiwa emosional dan situasional. Jaras neural yang demikian memberikan mekanisme dimana emosi dapat mempengaruhi sekresi gastrointestinal. Rasa takut dan depresi tampaknya mengurangi sekresi, sementara permusuhan dan kemarahan meningkatkan sekresi.
Ø  Fase Gastrik
Mengacu pada stimulasi sekresi lambung oleh karena adanya makanan (chyme) di dalam lambung. Peregangan dinding lambung oleh makanan merangsang reseptor peregang dalam dinding lambung. Selanjutnya reseptor peregang dan kemoreseptor dalam dinding lambung menjadi lebih sulit dirangsang oleh karena adanya pengaktifan neuron-neuron dalam dalam fleksus mientrika maka akan menurunkan sekresi HCl dan motilitas lambung sebagai akibat terhambatnya sekresi gastrin dan GIP (glucose-dependent insulinothropic peptide).
Ø  Fase Intestinal
Dimulai setelah chyme mencapai duodenum. Keasaman campuran ini merangsang sel-sel mucosal duodenum melepaskan sekretin ke dalam aliran darah, protein memicu pelepasan kolesistokinin (CCK) ke dalam aliran darah dari sel-sel serupa, dan glukosa serta lemak merangsang sekresi GIP. Sekretin dan CCK menyebabkan sekresi pancreas dan pelepasan isi kandung empedu ke dalam duodenum. GIP merangsang pelepasan insulin dari pulau langerhans dan menurunkan motilitas dan sekresi lambung. Reseptor-reseptor peregang dalam duodenum memicu peristaltic, sehingga chyme dipecah-pecah, bercampur dengan enzim-enzim dan diencerkan, dan berjalan melewati lumen-lumen dinding usus halus yang mempunyai daya serap yang tinggi
Lendir tersebut berfungsi melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung dan enzim. Setiap kelainan pada lapisan lendir ini (pakah itu infeksi oleh bakteri Helicobacter pylori atau kena aspirin), bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
4.      Duodenum, Yeyunum, dan Ileum
Sepanjang 25 sampai 30 cm pertama dari usus halus disebut duodenum. Sedangkan 2,6 meter berikutnya terdiri atas Yeyunum dan Ileum. Duodenum menerima enzim pankreatik dari pancreas dan empedu dari hati. Cairan tersebut (yang masuk ke dalam duodenum melalui lubang yang disebut spingter oddi) merupakan bagian yang penting dari proses pencernaan dan penyerapan. Gerakan peristaltik juga membantu pen-
cernaan dan penyerapan dengan cara mengaduk dan mencampurnya dengan zat yang dihasilkan oleh usus. Beberapa senti pertama dari lapisan Duodenum adalah licin, tetapi sisanya lipatan-lipatan, tonjolan-tonjolan kecil











Sisa dari usus halus, yang terletak di bawah Duodenum terdiri dari Yeyunum dan Ileum. Bagian ini tertama yang bertanggung jawab terhadap penyerapan lemak dan zat gizi lainnya. Penyerapan ini diperbesar oleh permukaannya yang luas karena terdiri dari
(villi) dan tonjolan-tonjolan yang lebih kecil (mikrovilli). Villi dan mikrovilli menyebabkan bertambahnya permukaan dari lapisan duodenum sehingga menambah zat gizi yang diserap.









lipatan-lipatan, villi dan mikrovilli. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir/ mukus yang melumasi isi usus dan air yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna. Dinding usus juga mengeluarkan sejumlah enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Kepadatan dari isi usus berubah secara bertahap seiring dengan perjalanannya melalui usus halus. Di dalam duodenum, air dengan cepat dipompa ke dalam isi usus untuk melarutkan keasaman lambung. Ketika melewati usus halus bagian bawah, isi usus menjadi lebih cair karena mengandung air, mukos, dan enzim-enzim pankreatik.
Pengosongan usus halus ke dalam kolon terjadi dengan cara yang sama seperti pada pengosongan lambung. Gelombang peristaltic membentuk tekanan dalam ileum di belakang katup ileosekal dan mendorong chyme melewati katup ke dalam kolon. Katup tersebut kemudian beraksi untuk mencegah timbulnya aliran balik. Pengosongan ileum dapat diperlambat oleh reflex-refleks intramural, yang diawali oleh kolon yang penuh (distensi).
Selanjutnya seperti yang telah dibicarakan sebelumnya proses penyerapan zat makanan terjadi di usus halus melalui villi dan mikrovilli. Adapun zat-zat yang diserap antara lain;
a.       Karbohidrat
Penguraian Karbohidrat (CHO) bermula di dalam mulut, melalui aksi amylase salivary, dan berlanjut ke dalam duodenum. Pengubahan menjadi zat gula yang sangat sederhana berlanjut di dalam usus halus oleh enzim-enzim usus halus. Penghantaran yang aktif maupun pasif digunakan untuk menyerap gula melewati lumen intestinal ke dalam aliran darah.
b.      Protein
Pemecahan protein bermula dalam lambung oleh HCl dan pepsin. Polipeptida dalam usus halus dipecahkan menjadi fragmen-fragmen peptide dan asam amino oleh tripsin, kemotripsin dan karboksipeptidase. Asam amino diserap masuk ke dalam darah oleh difusi aktif dan pasif.
c.       Lemak
Trigliserida, lipida dan fosfolipid adalah zat yang pertama kali dipecahkan di dalam usus halus. Garam empedu, dalam proses yang disebut emulsifikasi, mendorong pembentukkan droplet lemak dari globulin lemak yang lebih besar. Enzim-enzim pankreatik kemudian bersentuhan dengan lemak dan memecahkannya menjadi rantai-rantai asam lemak dan monoglisakarida. Bentuk molekul-molekul yang lebih kecil ini akan berubah menjadi globolus yang disebut miseles. Asam lemak dan monosakarida dipindahkan melewati mukosa intestine dari sebuah misel secara pasif dan menyisakan empedu.
Di dalam submukosa, asam lemak bebas akan dialirkan ke dalam darah secara langsung, jika bentuknya cukup kecil. Jika ukurannya terlalu besar untuk dialirkan secara langsung namun melalui difusi pasif, maka asam lemak bebas akan diatur kembali menjadi trigliserida, bersama dengan lipoprotein juga kolesterol kemudian dilepaskan ke dalam cairan limfe sebagai kilomikron.
Empedu yang tersisa di alam intestinal setelah penyerapan lemak dari sebuah misel, akan diserap kembali dalam ileum. Jika garam-garam empedu memasuki kolon maka akan terjadi penurunan reabsorpsi Natrium dan air, dengan demikian akan meningkatkan liquiditas dari residu makanan yang tidak dicerna dalam kolon. Sebagian lemak diserap pada saat chyme mencapai bagian tengah yeyunum.
d.      Vitamin, Mineral dan Air
Kebanyakan vitamin, baik yang larut oleh lemak atau pun larut dalam air akan berdifusi melalui mukosa intestine dan juga sub mukosa intestine ke dalam darah. Walaupun demikian vitamin yang larut oleh lemak akan membutuhkan emulsifikasi garam empedu. Vitamin B12 disertai dengan faktor intrinsik, membentuk suatu molekul yang amat besar. Dalam bentuk ini B12 akan terserap, adalah tidak lazim bagi molekul untuk membesar ukurannya, ketimbang mengecil dalam kaitannya dengan penyerapan.
Mineral dan elektrolit absorpsinya bervariasi. Natrium dan besi membutuhkan transport aktif, sementara mineral dan elektrolit lainnya berdifusi secara pasif.
Air diserap secara pasif melalui lambung, usus halus dan usus besar. Traktus gastrointestinal sangat permeable terhadap air, dalam kedua arah. Ketika larutan hipertonik memasuki duodenum, osmosis terjadi di dalam lumen. Kebalikannya adalah bahwa chyme hipotonis dalam lambung dan duodenum menyebabkan gerakan air yang sangat cepat kedalam aliran darah.
5.      Colon dan Rectum
Kolon mempunyai panjang 1,1 meter. Ostium Ileum ke dalam bagian pertama dari kolon (sekum) dilengkapi oleh katup ileosekal yang mencegah refluks isi kolon ke dalam ileum. Tonjolan di sebelah inferior








dari sekum adalah appendiks vermiformis, saluran buntu dan memiliki panjang sekitar 2,5 sampai dengan 20 cm. Kolon asendens memanjang ke arah superior dari sekum ke sebelah inferior perbatasan bawah hepar. Kolon kemudian melengkung transversal melintang ke sisi kiri rongga abdomen ke inferior lambung, tempat kolon melengkung kembali untuk menjadi kolon desending. Bagian kolon ini menjalar ke bawah di sisi kiri abdomen ke ketinggian Krista iliaka, tempatnya menjadi kolon sigmoid. Bagian kolon yang berbentuk S ini melengkung pertama ke arah sisi kanan abdomen, tetapi segera dengan tajam melengkung ke arah posterior dan ke atas menuju sacrum. Namun kurva ini melengkung kembali ke arah anterior menuju dasar pelvic sebagai rectum.
Kira-kira 2,5 cm di sekitar rectum, saluran anal, memanjang antara levator dan otot dasar pelvic dan terbuka ke permukaan tubuh ekterior sebagai orifisium ani. Terdapat dua spingter yang mengelilingi orifisium ini; spingter internal tersusun atas otot halus dan bagian eksternal tersusun atas otot skeletal.
Gerakan kolon meliputi gerakan mencampur dan gerakan peristaltik. Kerjanya sama seperti yang terjadi pada usus halus. Gerakan ketiga, yang hanya dimiliki oleh kolon adalah suatu gerakan massa kolon. Gerakan ini terjadi dari kontraksi simultan dari otot polos kolon yang meliputi sebagian besar kolon desenden dan kolon sigmoid. Gerakan massa ini dengan cepat mendorong residu makanan yang tidak dicerna (feses) dari area ini ke rektum.
Manusia tidak dapat mencerna selulosa, hemiselulosa, atau lignin yang terdapat pada jaringan tumbuhan. Bahan-bahan dari tumbuhan ini membentuk sebagian besar residu makanan yang tidak tercerna. Bahan-bahan ini biasanya  disebut “serat sayuran” atau “bulk dietary.” Serat ini menarik dan “menahan” air, menyebabkan feses yang besar dan lunak. Bulk dalam jumlah yang rendah diakibatkan oleh kolon yang secara relatif rendah, menyebabkan pada BAB yang secara relatif tidak teratur dan feses yang secara relatif lebih kecil dan lebih kering, dan sulit untuk dikeluarkan. Laporan epidemiologi menunjukkan bahwa diet tinggi serat berhubungan dengan penurunan insiden diverticulitis dan kanker kolon.
Defekasi,. Pengisian rectum akan memicu reflex defekasi oleh perangsangan reseptor-reseptor  peregang akan mengakibatkan serabut saraf sensor (afferent) mengirimkan impuls-impuls ke bagian bawah medulla spinalis. Karena susunan anatomi neuron dalam bagian medulla spinalis ini, maka impuls-impuls saraf menjalar keluar medulla spinalis sepanjang serabut motorik parasimpatis yang mempersarafi otot-otot polos kolon desenden dan sigmoid, rektum , dan spingter ani interna. Impuls-impuls saraf untuk dikirimkan keluar medula spinalis sepanjang neuron motorik somatic yang mempersarafi otot skeletal spingter ani eksterna. Efek keseluruhan dari peristiwa-peristiwa ini adalah untk menghasilkan (1) kontraksi eksplusif yang terkoordinasi pada kolon dan rektum, (2) relaksasi (pembukaan) spingter dan (3) pengeluaran feses dari anus.



Keinginan untuk defekasi dimulai setelah tekanan di dalam rektum mencapai 18 torr. Setelah tekanan intrarektal mencapai 55 torr, terjadi refleks evakuasi isi usus. Refleks defekasi ini mengalami hambatan pada orang “kontinensia” dengan mengirimkan impuls saraf ke serabut desenden medula spinalis dari pusat otak yang lebih tinggi untuk menghambat kerja neuron motorik somatik yang mempersarafi spingter eksterna. Hambatan yang demikian akn membuat spinter ani eksterna tertutup, dengan cara demikian mencegah defekasi yang tidak sesuai. Setelah beberapa menit,refleks defekasi akan mereda ; tetapi biasanya akan aktif kembali setelah beberapa jam. Defekasi adalah reflesks medula spinalis yang tidak membutuhkan jaras yang utuh antara medula sacral dan otak. Peristiwa  pemutusan sempurna medula spinalis di atas segmen medula sakral mempengaruhi defekasi dalam dua cara. Selama syok medula spinalis, hiperpolarisasi internunsial medula mencegah bekerjanya refleks defekasi. Setelah syok medula berakhir, refleks defekasi terjadi sekali lagi, tetapi penghambatan volunteer tidak mungkin terjadi (usus neurogenik).

C.    Organ-organ Lain Yang Membantu Proses Pencernaan
Selain dari organ-organ utama pencernaan yang telah disebutkan terlebih dahulu, proses pencernaan makanan juga dibantu oleh organ-organ tambahan/ aksesoris, yaitu;
1.     
Kelenjar ludah menghasilkan ludah ( saliva ) sebanyak 2,5 liter per harinya. Di dalam rongga mulut terdapat 3 pasang kelenjar ludah, yaitu kelenjar ludah parotis,kelenjar ludah rahang bawah dan kelenjar ludah bawah lidah, Ludah merupakan cairan pekat yang mengandung air, lendir, garam dan enzim ptialin           ( amilase )
Kelenjar Ludah


















2.      Hepar dan Sistem Bilier
Organ ini memiliki dua buah lobus (kanan dan kiri) dan terletak tepat dibawah diafragma, dengan bagian terbesarnya terletak pada bagian sebelah kanan tubuh. Permukaan superior (membundar) masuk  ke dalam kurva diafragma dan bersentuhan dengan dinding anterior rongga abdomen. Permukaan inferior terletak di atas lambung, duodenum, pancreas, fleksura hepatica pada kolon, ginjal kanan dan kelenjar adrenal kanan.
Vena porta dibentuk di belakang kaput pancreas oleh penggabungan vena mesenterika superior dan splenika. Pada pintu masuknya ke hepar, vena porta terbagi dalam dua batang, yang mensuplai kedua lobus hepar. Cabang-cabang vena porta kemudian tersebar melalui jaringan hepar dan menjadi vena interlobular karena vena ini mengelilingi lobules. Sinusoid darah kemudian melewati ke arah pusat dari setiap lobules tempat keduanya akan menyatu dan membentuk vena sentral, yang selanjutnya membentuk vena sublobular, yang akhirnya menjadi vena hepatika. Kedua pembuluh hepatica mengalir ke dalam vena kaya inferior.
Arteri hepatica mensuplai hepar dengan nutrient. Arteri ini, bersama dengan arteri gastrika dan arteri splenika kiri merupakan cabang terminal dari arteri seliaka. Cabang-cabang dari arteri hepatica di dalam lobules hepar membentuk kapiler-kapiler yang berhubungan dengan sinusoid dari vena interlobularis.
Unit fungsional hepar adalah lobules berbentuk silinder yang berdiameter sekitar, 1,5 mm dengan panjang 8 mm. setiap lobus hepar berisikan lobulus  yang berjumlah antara 50.000 sampai 100.000. Mikro anatomi dari lobules ini diperlihatkan dalam gambar 33-4. Barisan sel-sel hepar (hepatosit) menyebar dari venula sentral seperti jari-jari roda.
Adapun fungsi dari Hepatosit adalah :
1.      Katabolisme steroid (hormone dan obat).
2.      Metabolisme protein, termasuk sintesis protein plasma, pengubahan ammonia menjadi urea, deaminasi dan transaminasi.
3.      Pembentukkan empedu.
4.      Metabolisme lemak, termasuk sintesis lipoprotein, sintesis kolesterol, dan pengubahan protein dan karbohidrat menjadi lemak.
5.      Menyimpan mineral dan vitamin.
6.      Metabolisme karbohidrat, termasuk penyimpanan glikogen, glukoneogenesis, dan pelepasan glukosa ke dalam plasma.
7.      Pemecahan obat-obat tertentu.
8.      Sintesis faktor koagulasi I (fibrinogen), II (protrombin), V (proasklerin), VII (prokonvertin), IX (komponen tromboplastin plasma), X (faktor stuart).
9.      Sintesis komplemen protein.
Cabang-cabang dari arteri hepatica dan vena portal hepatis terletak pada bagian perifer roda. Darah dari cabang-cabang ini dialirkan ke dalam saluran-saluran terbuka (sinus-sinus hepatica) yang menjalar diantara barisan-barisan hepatosit. Sel-sel Kupffer, sel-sel putih khusus dari sistem retikuloendotelial, memfagosit bakteri, debris dan benda asing lain di dalam darah sinus. Sinus-sinus ini mengalir ke dalam venula hepatica. Sekitar 400 ml darah, berada di dalam sinus-sinus venosa, yang dapat disediakan untuk mengatasi keadaan darurat sebagai kompensasi bila terjadi hipovolemia. Kanalikuli empedu berujung buntu muncul di antara barisan hepatosit yang lain. Kanalikuli ini membawa empedu yang baru disekresi ke duktus yang lebih besar yang terletak di bagian perifer. Duktus yang lebih kecil ini akhirnya akan mengalir pada duktus komunis.
Empedu yang meninggalkan hepar sangat kental dan disimpan dalam kandung empedu. Reabsorpsi elektrolit dan cairan dalam kandung empedu dapat meningkatkan konsentrasi garam empedu, kolestrol dan bilirubin menjadi dua kalinya. Jadi kandung empedu, yang mempunyai kapasitas maksimum 50 ml, dapat menampung saluran empedu selama 24 jam dari hepar sebanyak 600 ml. Hormon CCK intestine dan aktivitas saraf vagus merangsang kontraksi kandung empedu. CCK dan refleks-refleks lokal yang dibangkitkan oleh peristaltis duodenum membuka spingter Oddi. Peristiwa ini memungkinkan suatu aliran empedu sampai ke empedu sampai ke duktus empedu komunis ke dalam duodenum.
Duktus empedu komunis dan duktus mayus dari pancreas biasanya menyatu tepat sebelum duktus memasukin lumen duodenum. Sering kali terjadi penyebaran pipa pembuluh setelah pertemuan pembuluh ini (ampulla Vater). Ostium dari duktus empedu komunis dalam duodenum berjarak sekitar 8 sampai 10 cm dari pylorus.
3.      Kandung Empedu
Di dalam duodenum, chyme yang tercampur dengan sekresi pankreatik berbentuk cairan. Lemak dalam chyme tidak larut dalam air, dan membutuhkan suatu campuran enzim pelarut yang berasal dari hepar untuk mengubahnya










agar dapat terserap oleh sel-sel intestine manusia. Hepatosit, di antara banyak fungsi metabolisme lainnya juga membuat empedu. Empedu adalah suatu campuran garam empedu, kolesterol, bilirubin dan asam yang membentuk suspense dalam air. Larutan ini mengemulsikan lemak dalam chyme dengan memecahkan lemak ke dalam globolus yang sangat kecil sehingga dapat diserap lumen intestinal. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak terionisasi menjadi bentuk yang dapat terserap oleh aksi dari empedu. Empedu juga beraksi untuk membentuk suspensi kolesterol, trigliserida, dan lipoprotein multi-densitas ke dalam aliran darah, dengan demikian akan mencegah pengendapan dan endapan molekul ini di dalam vascular, sampai zat tersebut dapat dikatabolisme.
Empedu disimpan dan dipekatkan dalam kandung empedu. Di bawah pengaruh aktivitas vagal atau CCK, kandung empedu berkontraksi, mengeluarkan empedu ke dalam duodenum, untuk bercampur dengan chyme.
4.      Pankreas
Organ tubuh ini memiliki baik jaringan eksokrin  maupun endokrin. Pada jaringan endokrin terdapat pulau-pulau Langerhans. Sel-sel eksokrin (sel-sel asinus) tersusun dalam lobules dan mengosongkan sekresinya ke dalam










sistem saluran pankreatik interna. Duktus interna ini mengalir ke dalam duktus pankreatik eksternal (duktus Wirsung) yang menggabungkan duktus komunis untuk membentuk duktus pendek yang













bercabang disebut ampula Vater. Ampulla ini dikelilingi oleh cincin otot polos, yaitu spingter Oddi. Karena susunan anatomis antara duktus empedu komunis dan duktus Wirsung, maka batu empedu yang menyumbat ampula Vater, dapat menyumbat kedua aliran normal sekresi empedu maupun pankreatik. (Sumbatan yang demikian, meskipun jarang terjadi, dapat mengarah pada keadaan statis sekresi pankreatik yang mengakibatkan pancreatitis akut.)
Sejumlah besar air yang dikeluarkan oleh pancreas merupakan instrumental dalam pengenceran chyme sebelum diserap. Sel-sel asinus eksokrin mensekresi larutan alkali cair (natrium bikarbonat dan kalium bikarbonat. Bikarbonat menetralisasi chyme yang sangat asam baru datang dari duodenum dari lambung. Enzim-enzim pankreatik mencerna protein (tripsin, kemotripsin, etalase dan karboksipeptidase, lemak (lipase, kalipase dan entarase), fosfolipase dan asam nukleat (nuclease) dan zat tepung (amilase). Enzim-enzim ini disekresi dari pancreas dalam inaktif.
Manakala sekresi pankreatik tiba di dalam duodenum, tripsin inaktif (tripsinogen) diaktifkan oleh enzim mukosa usus yaitu enteropeptidase. Tripsin aktif kemudian mengkatifkan enzim-enzim pankreatik lainnya. Pengaturan sekresi terjadi melalui jalan neural dan hormonal. Stimulasi vagal mengakibatkan sekresi enzim-enzim pankreatik. Pengaturan hormonal terjadi sebagai hasil respons-respons mucosal duodenal terhadap chyme.
D.    Konsep Dasar Perdarahan Gastro Intestinal
1.      Pengertian
Perdarahan saluran cerna atas adalah perdarahan yang berasal dari bagian proksimal ligamentum Treitz dengan manifestasi klinik berupa hematemesis dan melena. Hematemesis adalah muntah yang mengandung darah berwarna merah terang atau kehitaman akibat proses denaturasi, sedangkan melena adalah pendarahan saluran cerna atas yang keluar melalui rektum dan berwarna kehitaman atau seperti ter. Pada perdarahan saluran cerna atas masif, darah yang keluar melalui rektum dapat berwarna merah terang (hematokesia) akibat waktu singgah yang cepat di dalam saluran cerna.
Hematemisis adalah muntah darah. Sedangkan melena adalah pengeluaran feses yang berwarna hitam seperti ter yang disebabkan oleh adanya perdarahan saluran cerna bagian atas (Tondobala, 1987 dalam Suparman, 1993)
Hilangnya darah yang bisa dari berbagai tempat di intralumen dari orofaring sampai anus. (http://www.scribd.com/doc/6240231/Gastroentorologi, diakses tanggal 27 April 2010 jam 16.47 wita)
2.      Etiologi
Penyebab-penyebab perdarahan gastrointestinal, antara lain :
1.      Perdarahan Gastrointestinal Bagian Atas
o   Esofageal
-          Varises
-          Inflamasi
-          Ulkus
-          Tumor
-          Perlukaan Mallory-Weiss
o   Gaster
-          Ulkus
-          Gastritis
-          Tumor
-          Angiodisplasia
o   Usus halus
-          Ulkus peptikum
-          Angiodisplasia
-          Penyakit Crohn
-          Divertikulum Meckel
2.      Perdarahan Gastrointestinal Bagian Bawah
-          Tumor ganas
-          Polip
-          Kolitis ulserativa
-          Penyakit Crohn
-          Angiodisplasia
-          Divertikula
-          Hemorhoid
-          Fistula rectal
-          Hemorage massif gastrointestinal bagian atas.

3.      Patofisiologi
Penyakit ulkus peptikum adalah penyebab yang paling utama dari perdarahan gastrointestinal bagian atas. Ulkus ini ditandai oleh rusaknya mukosa sampai mencapai mukosa muskularis. Ulkus ini biasanya dikelilingi oleh sel-sel yang meradang yang akan menjadi granulasi dan akhirnya menjadi jaringan parut.
Sekresi asam yang berlebihan adalah penting untuk pathogenesis penyakit ulkus. Kerusakan kemampuan mukosa untuk mensekresi mucus sebagai pelindung juga telah diduga sebagai penyebab terjadinya ulkus. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya penyakit ulkus peptikum yang telah dikenal, termasuk aspirin dan obat anti-inflamasi nonsteroid, keduanya dapat mengakibatkan kerusakan mukosa. Merokok kretek juga mengakibatkan penyakit ini, dan selain itu juga sangat merusak penyembuhan luka. Riwayat keluarga yang berhubungan dengan ulkus juga diketahui sebagai faktor risiko.
Ulkus akibat stress juga ditemukan pada pasien yang mengalami sakit kritis dan ditandai dengan  erosi mukosa. Lesi berkaitan dengan  pasien yang mengalami trauma hebat secara terus menerus, pasien yang mengalami sepsis, luka bakar yang parah, penyakit pada sistem saraf pusat atau cranial; dan pasien yang menggunakan dukungan ventilator untuk jangka lama. Rentang abnormalitas adalah hemoragi pada permukaan yang kecil sampai ulserari dalam dengan perdarahan yang massif. Hipoperfusi mukosa lambung diduga sebagai mekanisme utama. Penurunan perfusi diperkirakan memiliki andil dalam merusak sekresi mucus, penurunan pH  mukosa dan penurunan tingkat regenerasi sel mukosa. Semua faktor ini turut andil dalam terjadinya ulkus.
Dalam gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esofagus dan rektum serta pada dinding abdominal anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splanknik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut menjadi mengembang oleh darah dan membesar. Pembuluh darah yang berdilatasi ini disebut Varises dan dapat pecah, mengakibatkan hemoragi gastrointestinal massif.
Hemoragi gastrointestinal bagian atas mengakibatkan kehilangan volume darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespons terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini menerangkan tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada pasien saat pengkajian awal. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfungsi jaringan mengakibatkan disfungsi selular.



Sel-sel akan berubah menjadi metabolisme anaerob, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan efek pada seluruh sistem tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem itu akan mengalami kegagalan.
Obat
Rokok kretek
Hipoperfusi
Mukosa lambung
Gagal hepar
Sirosis kronis
Pe  
Tek. Vena porta
Pengembangan vena o/ darah
Dilatasi
Varises pecah
Perdarahan Masif
Pe
Perfusi jaringan
Penurunan
Suplai O2
Hematemesis dan
Melena
Ulkus
Karena sekresi asam
Kerusakan mukosa

Nyeri perut
Defisit volume
cairan
Hipertermia
Mekanisme koping tidak efektif (ansietas)
Kerusakan
Pertukaran
Gas

 

























4.      Tanda Dan Gejala
a.      Perdarahan Gastrointestinal Bagian Atas
1.      Hematemesis
Pasien yang memuntahkan darah biasanya mengalami perdarahan yang bersumber di atas ligament Treitz (pada jungsi denojejunal). Peristaltik balik jarang sampai mengakibatkan hematemesis  jika tempat perdarahan berada di bawah area ini. Muntah dapat berwarna meraha terang atau seperti kopi, tergantung dari jumlah kandungan lambung pada saat perdarahan dan lamanya darah telah berhubungan dengan sekresi lambung.
Asam lambung mengubah hemoglobin mengarah terang menjadi hematin coklat dan dikeluarkan. Cairan lambung yang berwarna merah marun atau merah terang diakibatkan dari perdarahan hebat dan sedikit kontak dengan asam lambung.
2.      Darah lewat pipa nasogastrik
Tetapi, aspirat nasogastrik dari pasien dengan perdarahan saluran cerna bagian atas tidak berisi darah kalau perdarahan telah berhenti dan lambung telah membrsihkannya. Atau kalau duodenum-lah sumbernya dan pylorus yang tertutup mencegah kembalinya darah ke dalam lambung. Selain itu aspirat hem yang positif dapat disebabkan oleh cedera oleh pipa atau dapat positif semu sebagai akibat penggunaan simetidin.
3.      Melena
Feses seperti ter secara konsisten terjadi pada semua orang yang mengakumulasi 500 ml darah dalam lambungnya. Feses ter dapat dikeluarkan bila sedikitnya 60 ml darah telah memasuki traktus intestinal. Hemoragi massif dari traktus gastrointestinal atas, sejalan dengan peningkatan motilitas intestinal yang terjadi, dapat mengakibatkan feses yang mengandung darah merah terang. Diperlukan beberapa hari setelah perdarahan berhenti untuk feses melena menjadi hilang warna darahnya. Kehilangan darah gastrointestinal dapat tersembunyi, dideteksi dengan pemeriksaan sekresi (drainase nasogastrik atau fase) dengan bahan reaksi kimia (guaiac).
4.      Tinja yang berwarna merah gelap
Dapat menggambarkan perdarahan cepat yang bersumber dari gastrointestinal bagian atas, dan kalau demikian halnya, keadaan ini biasanya disertai dengan hipotensi, bising usus aktif dan peningkatan BUN mencapai 30-40 mg/dL sebagai akibat dari penurunan aliran darah ke hepar.
b.      Perdarahan Gastrointestinal Bagian Bawah
1.      Darah merah segar lewat rektum
Menunjukkan adanya bahwa sumber perdarahan berasal dari saluran gastrointestinal bagian bawah.
2.      Laju perdarahan yang lebih lambat atau perdarahan berkala terutama bagian kolon yang lebih proksimal, dapat memperlihatkan tinja berwarna merah tua atau tinja “jeli kismis” atau bahkan melena.
Selain tanda dan gejala tersebut di atas, antara lain yaitu :
1.      Peningkatan Suhu tubuh karena perdarahan yang hebat.
2.      Peningkatan bising usus karena sensitivitas  usus besar terhadap darah.
3.      Nausea
4.      Pucat
5.      Akral dingin sebagai akibat dari kontraksi pembuluh darah yang ada di kulit, paru-paru, intestine, hepar dan ginjal karena pelepasan katekolamin. Sehingga akan meningkatkan aliran volume darah ke jantung dan otak. Karena penurunan aliran darah pada kulit, maka kulit pasien akan dingin saat disentuh.
6.      Syok disertai tachicardi yang  dan hipotensi yang nyata.
5.      Pemeriksaan Penunjang
Berbagai pemeriksaan penunjang dapat digunakan untuk membantu mendiagnosa abnormalitas sistem gastrointestinal dan abdomen. Adapun pemeriksaan penunjang atau tes diagnostic yang dilakukan adalah :
a.      Sinar X
Serangkaian pemeriksaan abdomen, atau gambaran abdomen dalam tiga cara, terdiri atas film abdomen datar, film abdomen atas dan dada bagian atas dengan pasien berdiri tegak, dan film dimana pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi (dekubitus). Radiografi dapat membantu menggambarkan adanya udara bebas di dalam abdomen yang disebabkan oleh masalah-masalah seperti perforasi viskus atau pecahnya abses. Obtruksi usus, seperti yang ditunjukkan oleh dilatasi loop usus dengan tingkat cairan udara atau volvulus intestine, dapat dilihat dari foto-foto tersebut. Posisi film dekubitus dapat membantu adanya asites.
b.      Endoskopi Gastrointestinal
Prosedur ini merupakan suatu tambahan penting pada pemeriksaan barium karena prosedur itu memungkinkan untuk dilakukan pengamatan langsung tentang bagian-bagian traktus intestinal. Instrumen yang digunakan adalah endoskop serat optic yang lentur. Alat ini dirancang dengan ujung yang dapat digerakkan sehingga operator dapat memanipulasi sepanjang saluran intestinal. Alat itu mempunyai saluran instrumen yang memungkinkan untuk biopsy lesi, seperti tumor, ulser atau peradangan. Cairan dapat diaspirasikan dari lumen saluran intestine dan udara dapat dihembuskan untuk menggelembungkan saluran intestine sehingga mempermudah pengamatan.
Apus sitologi dan jerat elektrokauteri dapat juga dimasukkan melalui alat ini. Endoskop dan kolonoskop dasar untuk intestinal bagian atas dirancang dalam bentuk yang hampir sama dan hanya berbeda pada diameter dan panjangnya. Endoskop intestinal atas sebelah sisi juga dirancang untuk pemeriksaan khusus pada duktus empedu  komunis dan duktus pankreatik. Pengkajian ini disebut endoskopi retrograde kolangiopankreatografi (ERCP).



Indikasi untuk dilakukannya endoskopi intestinal bagian atas sangat banyak. Dalam lingkup perawatan kritis, indikasi yang paling umum adalah perdarahan gastrointestinal, yang dapat disebabkan oleh ulkus, gastritis  atau varises esophagus. Endoskopi sangat bermanfaat untuk mendiagnosa neoplasma saluran intestinal bagian atas. Biopsi atau penyayatan daera abnormal ini dapat dilakukan untuk mendapatkan bahan diagnose.
Terapi spesifik dapat dilakukan melalui endoskopi gastrointestinal bagian atas, termasuk sklerosis varises esophagus. Pada prosedur ini agen penksklerosing, seperti natrium morhuate, dimasukkan ke vena yang berdilatasi dalam esofagus dengan harapan akan terjadi jaringan ikat di dalam vena untuk mencegah perdarahan spontan selanjutnya.
c.       Kolonoskopi
Kolonoskopi digunakan untuk mengevaluasi adanya tumor, peradangan atau oplip di dalam kolon. Kolonoskopi juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi daerah anstomotik dari pembedahan dan mengkaji derajat striktura baik karena pembedahan atau peradangan.
Kolonoskop dapat dimasukkan melalui rektum menuju sepanjang kolon ke dalam sekum. Dari sini katup ileosekal dapat dikaji begitu juga abnormalitas lainnya, seperti adanya karsinoma awal atau polip di sebelah kanan kolon. Polip ini dapat dikeluarkan melalui endoskopi, atau dapat difulgurasi dan dibakar. Letak perdarahan khusus seperti yang terjadi pada colitis, polip, tumor, atau angiodisplasia (pengumpulan pembuluh darah yang abanormal yang dapat menyebabkan perdarahan terus menerus) dapat diobservasi.
Karena pasien biasanya diberi sedatif sebelum dilakukan prosedur endoskopi sangat penting mengawasi jalan napasnya untuk mencegah terjadinya depresi pernapasan atau aspirasi dan untuk memantau tanda-tanda vital.
d.      Pemeriksaan Barium Kontras
Pemeriksaan diagnostic ini sangat penting untuk menemukan abnormalitas di dalam saluran intestinal. Penyinaran sinar X pada gastrointestinal bagian atas atau telan barium dilakukan dengan meminta pasien minum minuman yang telah dicampur dengan barium radioopak, sementara ahli radiologi mengamati penyalutan dari bahan ini di dalam esofagus, lambung dan usus halus. Barium mampu memperlihatkan kelainan struktur seperti tumor atau ulkus juga dapat menemukan adanya peradangan atau penyempitan. Enema barium dilakukan dengan memasukkan barium melalui rektum dalam posisi retrograde ke dalam seluruh kolon. Salutan tipis barium dapat membantu memperlihatkan letak tumor, polip, diverticulitis atau perdangan seperti Penyakit Crohn atau Kolitis ulcerative.

e.       Ultrasonografi
Pemeriksaan noninvasive ini menggunakan gelombang echo untuk mendeteksi adanya abnormalitas dalam rongga abdomen. Dilatasi dari duktus empedu komunis, distensi kandung empedu karena batu empedu, dan abnormalitas pancreas seperti tumor, pseudokis, atau abses dapat ditemukan. Aneurisme aorta dapat diperhitungkan untuk membantu memutuskan apakah diperlukan pembedahan eksisi. Penebalan kolon desenden dan kolon sigmoid dengan abses perikolonik yang disebabkan oleh kondisi seperti divertikolusis dapat diidentifikasikan. Prosedur ini biasanya dilakukan pada bagian radiologi rumah sakit.
f.        Computed Axial Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Tumor pada hati, pancreas, esofagus, lambung dan kolon dapat diidentifikasi menggunakan pemeriksaan ini. Tumor retroperitoneal atau nodus limfe juga dapat dilihat. Dengan menggunakan skan CT, dapat dilakukan biopsi jarum pada struktur ini untuk menentukan tipe sel tumor. Jarum ditusukan melalui dinding abdomen dengan menggunakan anestesi lokal. Jarum kemudian diarahkan ke struktur yang diinginkan dengan bantuan skan CT. Cairan dapat diaspirasikan dan selanjutnya dievaluasi oleh ahli patologi untuk melihat adanya sel nukleoplastik.
Teknik pengobatan nuklir sering digunakan untuk membantu mendiagnosa abnormalitas sistem hepatogastrointestinal. Skan radionuclide hepar dapat membantu menentukan disfungsi sel hepatic. Skaning CT dapat digunakan untuk menemukan  tumor atau abses di dalam hepar atau abdomen bagian atas.
Cholesintogram dapat dilakukan untuk menentukan kapasitas fungsi sistem empedu dan patensi duktus empedu dan pembuluh sistik. Pada perdarahan intestine berulang, jika sumbernya tidak ditemukan, teknik skan teknetium dapat sangat membantu. Pada teknik ini daerah yang berdarah diberi label dengan teknetium, dan jika pasien mengalami perdarahan aktif maka tanda “titik panas” akan diperlihatkan dalam skan abdomen. Ini merupakan tes yang sangat tidak khusus untuk menentukan letak perdarahan yang tepat, tetapi dapat membantu dalam mengarahkan ahli bedah pada letak yang umum. Angiodisplasia dan perdarahan divertikulum Meckel dapat didiagnosa dengan prosedur ini.
g.      Arteriografi
Prosedur ini sangat berguna untuk menentukan tempat perdarahan yang biasanya sulit ditentukan. Kateter ditempatkan baik pada arteri mesenterika superior dan inferior, dan disuntikan kontras. Arteriografi juga sangat membantu dalam menemukan aneurisme aorta.



h.      Parasentesis
Keran peritoneal dengan lavage rongga peritoneal akan sangat membantu dalam kasus trauma dimana harus ditemukan adanya perdarahan intraabdomen. Prosedur ini juga sangat membantu menentukan apakah terjadi pancreatitis dengan melakukan pengukuran amilase dan lipase dalam cairan yang diaspirasi dan apakah terdapat tumor pada jaringan dengan pemeriksaan sitologi.

Hal yang perlu diingat adalah pada pasien yang akan menjalani pemeriksaan diagnostic tersebut diatas, khususnya yang menggunakan media kontras, membutuhkan persiapan saluran gastrointestinal sebelum melakukan prosedur untuk menyiapkan daerah kajian yang bersih. Banyak dari pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu dan membuat pasien pada posisi yang tidak nyaman. Oleh karenanya, segala upaya harus dilakukan untuk memastikan apakah protocol untuk menyiapkan saluran gastrointestinal telah diikuti dan daerah yang akan dikaji telah dikosongkan dari makanan dan feses. Hal ini mencegah kemungkinan diperlukan pengulangan tes akibat persiapan yang kurang.
E.     Konsep Asuhan Keperawatan Klien Perdarahan Gastrointestinal
1.      Riwayat Kesehatan
Di luar kondisi kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan cepat untuk menyelamatkan jiwa, suatu pengkajian sistem gastrointestinal diawali dengan pengumpulan riwayat kesehatan. Pasien harus ditanyakan tentang semua masalah-masalah yang lalu seperti anoreksia, salah cerna, disfagia, mual, muntah, nyeri, ikterik, konstipasi, gas, diare, perdarahan atau hemoroid. Adalah penting untuk mengetahui secara keseluruhan dan memperluas pada respons yang positif untuk menentukan kapan masalah tersebut muncul, apakah telah mencari bantuan medis, apa yang yang menjadi faktor pencetus timbulnya gejala, apa yang dapat meringankan gejala tersebut, dan apa yang membuatnya lebih parah, serta apakah ada masalah lain yang sedang dihadapi. Riwayat nutrisi adalah penting dan harus mencakup tentang  masukan diit, alergi makanan, intoleransi makanan, diit khusus, kesulitan menelan (disfagia), dan masukan alcohol serta kafein.  Pasien harus ditanyakan tentang perubahan berat badan terakhir,kebiasaan BAB, operasi yang baru dialami (termasuk pemeriksaan gigi) dan riwayat keluarga tentang ulkus, colitis, atau kanker.
Nyeri yang berasal dari sistem gastrointestinal (GI) bervariasi tergantung pada penyebab yang mendasari asalnya. Nyeri harus dideskripsikan berdasarkan tipe, lokasi, kualitas, lama waktu, karakter dan awitan. Tanda-tanda yang berhubungan (misalnya : hiperventilasi, menahan napas, dan takikardia).



Review tentang sistem GI difokuskan pada lima gambaran berikut :
·         Keadaan Umum: Aktivitas motorik, posisi tubuh, perubahan status nutrisi yang terjadi belakangan ini dalam berat badan, kebiasaan makan, dan penampilan status kesehatan.
·         Kulit: Warna (ikterik, sianosis, pucat), turgor, edema, tekstur (berminyak, kering), dan kondisi dermatologis.
·         Kepala: Warna skelera, mata cekung, bau napas, kondisi gigi, lidah dan mukosa bukal.
·         Abdomen: Ukuran, bentuk, perubahan warna kulit, tonjolan yang nampak, jaringan parut, fistula, pengembangan respirasi yang terbatas, lipatan kulit yang berlebihan (mengindikasikan otot yang lemah)
·         Faktor-faktor psikologis: Kegelisahan emosional belakangan ini, depresi dan ansietas.
2.      Pengkajian Fisik (Data Fokus)
a.       Data Subyektif
1.      Hematemesis
2.      Melena
3.      Cemas
4.      Nyeri Perut
5.      Mengeluh Sesak
b.      Data Obyektif
1.      Berat badan
2.      Warna Kulit (ikterik, sianosis, pucat),  turgor, edema, tekstur (berminyak atau kering) dan kondisi dermatologic lainnya.   
3.      Hipertermia
4.      Kepala : Warna skelera, mata cekung, bau napas, kondisi gigi, lidah dan mukosa bukal.
5.      Pucat.
6.      Kegelisahan emosional, depresi dan ansietas.

3.      Diagnosa Keperawatan
a.       Defisit volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah akut.
b.      Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan dengan faktor-faktor resiko aspirasi.
c.       Nyeri yang berhubungan peningkatan sekresi mukos.
d.      Hipertermia yang berhubungan dengan perdarahan hebat.


e.       Risiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan aliran intravena.
f.       Ansietas yang berhubungan dengan sakit kritis/ ketakutan akan kematian.

4.      Rencana Tindakan
a.       Defisit volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah akut.
Tujuan : Pasien akan tetap stabil secara hemodinamik
Intervensi Keperawatan :
1.      Pantau tanda-tanda vital setiap jam atau prn
2.      Pantau nilai-nilai hemodinamik (mis; SAP, DAP, TDKP, IJ, CJ, TVS)
3.      Ukur haluaran urin tiap 1 jam
4.      Ukur masukan dan haluaran dan kaji keseimbangan.
5.      Berikan cairan pengganti dan produk darah sesuai pesanan medic. Pantau adanya reaksi-reaksi yang merugikan terhadap komponen terapi (mis: reaksi tranfusi)
6.      Tirah baring total, baringkan pasien pada posisi terlentang dengan kaki yang ditinggikan untuk meningkatkan preload jika pasien mengalami hipotensif, Jika terjadi normotensif tempatkan tinggi bagian kepala tempat pada 45o untuk mencegah aspirasi lambung.
7.      Perkecil jumlah darah yang diambil untuk analisis laboratorium.
8.      Pantau hemoglobin dan hematokrit.
9.      Pantau elektrolit yang mungkin hilang bersama cairan atau berubah karena kehilangan atau perpindahan cairan.
10.  Periksa feses terhadap darah untuk 72 jam setelah masa akut.

b.      Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan dengan faktor-faktor resiko aspirasi.
Tujuan : Pasien akan mempertahankan oksigenasi dan pertukaran gas yang adekuat.
Intervensi Keperawatan :
1.      Pantau SaO2 dengan menggunakan oksimetri atau ABGs.
2.      Pantau bunyi napas dan gejala-gejala pulmonal.
3.      Gunakan supplemental O2 sesuai dengan pesanan medik.
4.      Pantau suhu tubuh.
5.      Pantau adanya distensi abdomen.
6.      Baringkan pasien pada bagian kepala tempat tidur ditinggikan jika segalanya memungkinkan.
7.      Pertahankan fungsi dan patensi kateter nasogastrik dengan tepat.
8.      Atasi segera mual.



c.       Nyeri yang berhubungan peningkatan sekresi mukos.
Tujuan : Pasien akan mengalami ketidaknyamanan yang dapat diatasi.
Intervensi Keperawatan :
1.      Kaji dan cata tipe dan terjadinya nyeri.
2.      Jelaskan prosedur-prosedur sebelum dan selama dilakukan tindakan.
3.      Kaji akan kebutuhan agen-agen sedatif.
4.      Kaji kebutuhan akan analgesia: verbalisasi, perubahan VS, agitasi.
5.      Ajarkan klien metode-metode alternative pengendalian nyeri (seperti imagineri, terapi musik, terapi relaksasi, napas dalam)
6.      Berikan analgesia IV sesuai pesanan medik. Sebelum prosedur-prosedur yang menyakitkan dan per pengkajian.
7.      Pantau dan catat respons terhadap pengobatan.

d.      Hipertermia yang berhubungan dengan perdarahan hebat.
Tujuan : Suhu tubuh akan tetap dalam batasan normal.
Intervensi Keperawatan :
1.      Periksa suhu inti dengan teratur.
2.      Cegah menggigil dengan menurunkan suhu tubuh yang tinggi secara bertahap.
3.      Lakukan kompres hangat.
4.      Berikan antipiretik sesuai pesanan medik.
5.      Berikan antibiotic sesuai pesanan medik.
6.      Kontrol suhu lingkungan.
7.      Pertahankan teknik aspetik pada setiap prosedur.

e.       Risiko tinggi terhadap infeksi yang berhubungan dengan aliran intravena.
Tujuan : Pasien tidak akan mengalami infeksi nosokomial.
Intervensi Keperawatan :
1.      Pertahankan kestabilan selang intravena. Amankan aplians intravena berikut selangnya.
2.      Ukur suhu tubuh tiap 4 jam.
3.      Pantau sistem intravena terhadap patensi, infiltrasi, dan tanda-tanda infeksi (nyeri setempat, inflamasi, demam, sepsis).
4.      Ganti letak intravena setiap 48-72 jam dan prn.
5.      Ganti larutan intravena sedikitnya setiap 24 jam.
6.      Pantau letak insersi setiap pergantian tugas.
7.      Dukomentasikan tentang selang, penggantian balutan dan keadaan letak insersi.
8.      Gunakan teknik aseptic saat mengganti balutan dan selang. Pertahankan balutan yang bersih, transparan, dan steril.
9.      Ukur SDP terhadap kenaikan.
10.  Lepaskan dan lakukan pemeriksaan kultur bila terjadi tanda-tanda dan gejala infeksi.

f.       Ansietas yang berhubungan dengan sakit kritis/ ketakutan akan kematian,ataupun kerusakan bentuk tubuh, perubahan peran dalam lingkup sosial, atau ketidakmampuan yang permanen.
Tujuan :
·         Pasien akan mengekspresikan ansietasnya pada nara sumber yang tepat.
·         Pasien akan mulai mengidentifikasi sumber dari identitasnya.
Intervensi Keperawatan :
1.      Berikan lingkungan yang mendorong diskusi terbuka untuk persoalan-persoalan emosional.
2.      Gerakan sistem pendukung pasien dan libatkan sumber-sumber ini sesuai kebutuhan.
3.      Berikan waktu pada pasien untuk mengekspresikan diri. Dengarkan dengan aktif.
4.      Berikan penjelasan yang sederhana untuk peristiwa-peristiwa dan stimuli lingkungan.
5.      Identifikasi sumber-sumber rumah sakit yang memungkinkan untuk mendukung pasien dan keluarganya.
6.      Berikan dorongan komunikasi terbuka antara perawat-keluarga mengenai masalah-masalah emosional.
7.      Validasikan pengetahuan dasar pasien dan keluarga tentang penyakit kritis.
8.      Libatkan sistem pendukung religius sesuai kebutuhan.
















Daftar Pustaka :
Hudak dan Galo. (1996). Keperawatan kritis: Pendekatan holistik.(Vol. II, edisi 6). Jakarta: EGC.
Suparman. (1987). Ilmu penyakit dalam. (Jilid I, edisi kedua). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Jay H. Stein, MD. (1994). Panduan Klinik ILMU PENYAKIT DALAM (Internal Medicine: Diagnosis & Therapy. (Edisi 3). Jakarta: EGC
Harrison. (1995). Prisnsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam (Harrison’s Principles of Internal Medicine). (Volume 1, edisi 13). Jakarta: EGC