LANDASAN TEORI
IKTERUS NEONATORUM
A. Pengertian
1. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinema.
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 Mg % pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg % dan 15 mg %.
2. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus Merah, dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.
B. Etiologi
1. Peningkatan Produksi :
a. Hemolisis, misal pada Inkompatibilitis yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
b. Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.,
c. Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis.
d. Defisiensi G6PD/Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
e. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol (steroid).
f. Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase, sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
g. Kelainan congenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif.
C. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi haru mengkonjungsi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah kunjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding Site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
D. Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus :
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :
a. Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
b. Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri).
c. Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
d. Pemeriksaan yang perlu dilakukan :
e. Kadar Bilirubin Serum berkala.
f. Darah tepi lengkap.
g. Golongan darah ibu dan bayi.
h. Tes Coombs.
i. Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.
2. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam sesudah lahir.
a. Biasanya Ikterus fisiologis.
b. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5 mg % per 24 jam.
c. Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
d. Polisetimia.
e. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosissis, pendarahan Hepar, Sub Kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan :
a. Pemeriksaan darah tepi.
b. Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
c. Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
d. Pemeriksaan lain bila perlu.
e. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
f. Sepsis.
g. Dehidrasi dan Asidosis.
h. Defisiensi Enzim G6PD.
i. Pengaruh obat-obat.
j. Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gillbert.
3. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya :
a. Karena ikterus obstruktif.
b. Hipotiroidisme.
c. Breast milk Jaundice.
d. Hepatitis Neonatal.
e. Galaktosemia.
f. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan :
1. Pemeriksaan Bilirubin berkala.
2. Pemeriksaan darah tepi.
3. Skrining Enzim G6PD.
4. Biakan darah, Biopsi Hepar bila ada indikasi.
4. Patofisiologi Ikterus
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonates yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonates. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah, Hipoksia dan Hipoglikemia (AH, Markum, 1991).
5. Penilaian Derajat Ikterus
Ada beberapa cara untuk menentukan derajat Ikterus yang merupakan resiko terjadinya krenikterus, selain dengan pemeriksaan laboraturiom. Penilaian dilakukan dengan menggunakan rumus Kramer dibawah sinar matahari (day-light).
Rumus Kramer :
Daerah | Luas Ikterus | Kadar Bilirubin (mg %) |
1 | Kepala dan Leher | 5 |
2 | Daerah 1 ( + ) Badan bagian atas | 9 |
3 | Daerah 1, 2 ( + ) Badan bagian bawah dan Tungkai | 11 |
4 | Daerah, 1, 2, 3 ( + ) Lengan dan kaki bawah Dengkul | 12 |
5 | Daerah 1, 2, 3, 4 ( + ) Tangan dan Kaki | 16 |
Diagram Metabolisme Bilirubin
ERITROSIT |
HEMOGLOBIN |
HEM |
GLOBIN |
BESI/FE |
BILIRUBIN INDIREK (Tidak larut dalam air) |
BILIRUBIN BERKAITAN DENGAN ALBUMIN |
MELALUI HATI |
BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN GLUKORONAT/ GULA RESIDU BILIRUBIN DIREK (Larut Dalam Air) |
BILIRUBIN DIREK DIEKSRESI KE KANDUNG EMPEDU |
KANDUNG EMPEDU KE DEUDENUM |
BILIRUBIN DIREK DI EKSKRESI MELALUI URINE & FESES |
Terjadi pada Limpha, Makofag |
Terjadi dalam plasma darah |
Hati |
Melalui Duktus Biliaris |
6. Penatalaksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manajemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia.
1. Tujuan pengobatan :
a. Menghilangkan Anemia.
b. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi.
c. Meningkatkan Badan Serum Albumin.
d. Menurunkan Serum Bilirubin.
2. Metode Therapi :
Metode therapy pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.
a. Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Tranfusi pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan nenatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi (a boun of fluorencent light bulbs or in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 – 5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
b. Tranfusi Pengganti
Tranfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1) Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2) Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3) Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4) Tes Coombs Positif.
5) Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg/dl pada minggu pertama.
6) Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama.
7) Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl.
8) Bayi dengan hidrops saat lahir.
9) Bayi pada resiko terjadi kren ikterus.
Tranfusi pengganti digunakan untuk :
1) Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap sel darah merah antibodi maternal.
2) Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitasi (kepekaan).
3) Menghilangkan serum bilirubin.
4) Meningkatkan albumin bebes bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan bilirubin.
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfuse darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. Setiap 4 – 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
a. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekskresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan pentobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.
7. Prognosis
Hiperbilirubin baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak, penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris, gejala ensefalopati pada neonatus mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia, selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis didan ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin didapatkan adanya atitosis ditai gangguan pendengaran atau retardasi mental di hari kemudian.
NURSING CONSIDERATIONS
1. Pengkajian
a. Observasi tanda-tanda Joundice secara teratur
b. Joundice dipastikan dengan observasi warna kulit bayi head to toe, warna sclera dan membrane mukosa.
c. Tekanan langsung pada kulit terutama pada tulang yang menonjol seperti pada tulang hidung dan sternum.
d. Untuk kulit bayi yang hitam warna sclera, konjunctiva dan mukosa oral.
e. Observasi sebaiknya dilakukan pada siang hari atau warna natural.
Kulit
Tanda-tanda joundice tampak sebelum usia bayi:
1. Ukuran billirubin transcutaneus untuk screening dan mendeteksi joundice pada neonatus secara lengkap.
2. Phototerapi dapat mengurangi joundice
3. Sampel darah (lab)
4. Riwayat kesehatan masa lampau dari ortu/saudara kandung bayi (hyperbillirubinemia)
5. Adat istiadat dari ortu/keluarga
6. Karakteristik dari bayi seperti: BB yang berlebihan dan usia gestasi.
7. Pemberian dan frekwensi minum
2. Tujuan/ Prinsip dari Tindakan Keperawatan pada Bayi dengan hiperbilirubinemia dan Keluarga.
a. Bayi akan mendapatkan terapi yang tepat untuk menurunkan serum billirubin
b. Bayi akan mengalami terapi yang tidak menimbulkan komplikasi
c. Keluarga akan mendapatkan support emotional
d. Keluarga dapat melakukan phototerapi di rumah (jika diperbolehkan)
3. Terapi Sinar dan Transfusi Tukar.
Teori Terbaru Terapi sinar
Isomerisasi Billirubin :
a. Mengubah senyawa 4Z, 15Z-billirubin à senyawa bentuk 4Z, 15E Billirubin (merupakan bentuk isomer) à mudah larut dalam plasma, mudah diekskresi oleh hati dan empedu. Cairan empedu di usus dengan adanya peristaltik usus meningkat sehingga billirubin keluar.
b. Terapi sinar tidak efektif bila terjadi gangguan peristaltik, seperti : obstruklsi usus/ bayi dengan enteritis
c. Terapi sinar dilakukan pada bayi dengan kadar billirubin indirek > 10 mg/dl dan bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan ikterus pada hari I.
d. Terapi sinar dilakukan sebelum dan sesudah transfusi tukar.
e. Terapi sinar terdiri dari 10 buah lampu neon, paralel. Dipasang dalam kotak yang
f. berventilasi, energi cahaya yang optimal (350-470 nanometer), dengan jarak ± 50 cm.
g. Dibagian bawah kotak lampu dipasang fleksiglas biru (untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran)
h. Saat penyinaran à usahakan bagian tubuh terpapar seluas-luasnya, posisi bayi diubah setiap 6 – 8 jam (menyeluruh).
i. Kedua mata dan gonad bayi ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya.
j. Kadar billirubin dan Hb bayi dipantau secara berkala. Dihentikan bila kadar billirubin < 10 mg/dl.
k. Lamanya penyinaran biasa/tidak > 100 jam.
l. Penghentian/peninjauan kembali dilakukan bila ditemukan efek samping :
Enteritis
Hypertermi
Dehidrasi
Kelainan kulit (ruam)
Gangguan minum
Letargi
Iritabilitas
Transfusi Tukar
Tujuan :
1. Menghindari terjadinya ensefalopati biliaris karena billirubin indirek tidak mencapai sawar darah otak.
2. Mengganti eritrosit yang telah terhemolisis
3. Membuang antibodi yang menimbulkan hemolisis
DILAKUKAN BILA:
1. Kadar billirubin indirek > 20 mg/dl
2. Kadar billirubin tali pusat > 4 mg?dl
3. Kadar Hb < 10 g/dl
4. Bila terjadi peningkatan billirubin yang cepat 1 mg/dl tiap jam.
5. Transfusi darah dipertimbangkan bila pada bayi menderita :
Asfiksia
Sindrom gawat nafas
Asidosis metabolik
Kelainan SSP
BB < 1500 gram.
Billirubin mudah melalui sawar darah otak :
1. Bila billirubin disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah Rh menggunakan golongan darah O Rh (-)
2. Pada inkompatabilitas golongan darah ABO darah yang dipakai golongan darah “O” Rh (+).
3. Jika tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi golongan darah sama dengan bayi
4. Jika tidak memungkinkan golongan darah “O” yang kompatibel dengan serum ibu.
5. Jika tidak ada, golongan darah ‘O’ dengan titer A atau anti B < 1/256
6. Jumlah darah yang dipakai antara 140 – 180 ml/kg BB.
7. Transfusi sebaiknya melalui pembuluh darah umbilikus
8. Alat-alat yang dipersiapkan:
a. Kateter tali pusat
b. Larutan NaCl – Heparin (4000 U Heparin dalam 500 ml cairan NaCl) untuk mencegah terjadinya infeksi dan timbulnya bekuan darah.
c. Kran 3 cabang dan jarum
PENATALAKSANAANNYA
1. Terlebih dahulu menghisap 10 – 20 ml darah bayi dikirim ke Lab untuk pemeriksaan serologik, biakan, G6PD dan Billirubin.
2. Transfusi dilakukan dengan menyuntikkan darah secara perlahan sejumlah darah yang dikeluarkan.
3. Dilakukan bergantian pengeluaran dan penyuntikkan sebanyak 10 – 20 ml setiap kali untuk menghindari bekuan darah dan hypoxemia.
4. Setiap 100 ml transfusi dilakukan pembilasan dengan larutan Na.Cl heparin & pemberian 1 ml kalsium glukonat
5. Transfusi tukar dapat dilakukan berulang jika bilirubin indirek pasca tranfusi > 20 mg / dl
6. Perhatikan kemungkinan komplikasi transfusi tukar seperti :
Asidosis
Bradikardi
Aritmia
Henti jantung
Komplikasi pasca transfusi :
Hiperkalemia
Hipernatremia
Hipoglikemia
4. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
a. Resiko terjadi injuri (persepsi sensori penglihatan) berhubungan dengan efek phototherapy.
Tujuan : Bayi akan mendapatkan terapi yang tepat untuk mempercepat eksresi bilirubin.
Kriteria : Tidak terjadi gangguan retina mata pada masa Tumbuh kembang.
Intervensi :
1. Kaji efek fototerapi
2. Letakkan bayi 45 cm dari sumber cahaya/lampu
3. Ubah Posisi bayi tiap 1-2 jam.
4. Selama dilakukan fototerapi tutup mata dan genital dengan bahan yang tidak tembus cahaya
5. Monitor reflek mata dengan senter pada saat bayi diistirahatkan dan kontrol keadaan mata setiap 8 jam
6. Buka tutup mata bila diberi minum atau saat tidak dibawah sinar
7. Observasi dan catat penggunaan lampu
8. Rencanakan lamanya therapi, type pencahayaan, jarak lampu dengan bayi, pembuka / penutup tempat tidur & pelindung mata bayi
b. Resiko tinggi gangguan integritas kulit berhubungan dengan jaundice, peningkatan bilirubin dalam darah, kondisi patologis.
Tujuan : Selama dalam perawatan kulit bayi tidak mengalami gangguan integritas kulit.
Intervensi :
1. Observasi keadaan keutuhan kulit dan warnanya
2. Bersihkan segera bila bayi buang air besar atau buang air kecil
3. Gunakan lotion pada daerah bokong
4. Jaga alat tenun dalam keadaan bersih dan kering
5. Lakukan alih baring dan pemijatan
c. Perubahan temperatur tubuh berhubungan dengan usia, efek phototherapy
Tujuan/ Kriteria : Suhu tubuh 36o- 37oC, mukosa mulut lembab.
Intervensi :
1. Pertahankan suhu lingkungan yang netral
2. Pertahankan suhu tubuh 36,50C - 370C jika demam lakukan kompres/axilla untuk mencegah cold/heat stress
3. Cek tanda Vital setiap 2 – 4 jam sesuai yang dibutuhkan
4. Kolaborasi pemberian antipiretik jika demam
d. Perubahan volume cairan : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake cairan inadekuat, efek phototherapy ditandai dengan terjadinya diare.
Tujuan/ Kriteria: Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Intervensi :
1. Berikan minum melalui sonde (ASI yang diperah atau PASI)
2. Lakukan oral hygiene dan olesi mulut dengan kapas basah
3. Monitor intake dan output
4. Monitor berat badan tiap hari
5. Observasi turgor dan membran mukosa
e. Resiko terjadi injuri berhubungan dengan efek phototherapy imaturity hati & kerusakan produksi sumber daya manusia
Tujuan : Akan mendapatkan therapi yang tepat untuk mempercepat ekskresi
bilirubin
Kriteria Hasil : 1. Bayi dapat minum segera setelah lahir
2. Bayi terlindung dari sumber cahaya ( jika ditentukan )
Intervensi :
1. Anjurkan pada ibu untuk segera memberikan Asi segera setelah lahir
2. Kaji kulit untuk mengetahui tanda joundice
3. Chek kadar bilirubin dengan bilirubinometry transcutaneous
4. Catat waktu / awal terjadinya joundice
5. Kaji status kesehatan bayi secara keseluruhan, terutama beberapa faktor (hypoxia, hypothermia, hypoglikemi & metebolik asidosis)
f. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang tujuan, prosedur pemasangan dan efek samping fototerapi.
Tujuan/Kriteria:
Orang tua mengerti tujuan tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi
Intervensi:
1. Beri penyuluhan pada orang tua tentang tujuan, prosedur dan efek samping fototerapi
2. Berikan support mental
3. Libatkan orang tua dalam prosedur fototerapi
DAFTAR PUSTAKA
1. Markum, 1999, “Ilmu Kesehatan Anak”. Buku I, FKUI, Jakarta
2. Ngastiyah, 1997, “Perawatan Anak Sakit,”. EGC, Jakarta.
3. Saifuddin, AB, 2001, “Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal”, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
4. Tucker Susan Martin, at al,, 1999, “Standar Perawatan Pasien, Proses Keperawatan, Diagnosis dan Evaluasi, EGC, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar